Pagi yang cerah untuk masa depan yang cerah bersama Komunitas Jendela. Komunitas yang ga ada matinya untuk menempuh puluhan kilometer demi menuju benih-benih pemimpin bangsa. Demi terus memupuk senang membaca buku. Demi menyiram benih- benih pemimpin bangsa dengan berjuta kasih sayang dan semangat. Kali ini, gue mendapat giliran sebagai penanggung jawab tema sains dan teknologi. Ciyaaat!
Kegiatannya beda kaya bisanya, yang biasanya indoor sekarang outdoor. Bentuk workshop dan penyampaian materi juga gue bikin jadi beda dari biasanya. Tapi gue bukan mau cerita tentang kegiatannya nih, tapi pengalaman gue untuk pertama kali menonton sebuah pertunjukan tradisional. Sebenernya, pertunjukan ini untuk masyarakat sunda sudah tidak asing lagi. Dalam rangka syukuran atau ada yang khitanan biasanya mereka mengundang hiburan ini. Tapi apa ini hiburan ? Well, here we go!
Salah satu anak ada yang ngajakin jendelist,
"Mbak, ayoo mbak nanti nonton Jathilan di relokasi".
"Apa itu jathilan?" tanya gue polos.
Oh, jadi kalo istilah sunda itu mereka mau nonton Benjang. Ada yang nari-nari eh lama-lama ada yang kesurupan. Mereka antusias banget, se-antusias gue jadi panitia LALC *cie gitu*. Akhirnya jadilah para jendelist ini mengabulkan permintaan adek-adeknya buat nonton Jathilan. Geratis. Sampek sana, baru mulai musiknya. Mulai manggilnya ? Loh manggil apa?
Jadi konon katanya, kalo ada yang nonton Jathilan ini, pemainnya kesurupan bisa jadi penontonnya pun kesurupan. Dyaaar! langsung pucet dan berusaha mikirin Karjo daripada kesurupan. Memang itu lebih menyenangkan. Ywd c. Waktu gue sampe di depan tempat pertunjukkan, ada beberapa orang lagi duduk tertunduk diantara kuda-kuda lumpingnya sambil menyalakan menyan. You know menyan, yang dibakar mengeluarkan bau yang menyengat. Kata orang itu cara untuk memanggil manggil ruhnya. Mana langit mulai mendung, tapi untung ada bakso tusuk yang cukup mengalihkan perhatian gue. Sejujurnya menyan itu wangi sih, cuma agak horor aja baunya.
Selesai nih mereka duduk dan tunduk bersama kuda lumpingnya. Mulai itu nyobain cambuknya kenceng banget. Ada yang kasian bapaknya udah keren tapi cambuknya nyangkut mulu ke atas ada tenda gitu. Habis itu gue ngeliat pada disuapin kembang melati orang-orangnya. Gak lama, ada deh bocah-bocah ganteng keluar dengan kostum tarinya itu. Nah setelah mereka nari cukup lama, ada kaya pawangnya gitu sambil bawa cambuk ke arena mereka nari. Jadilah anak anak kecil ini ada yang pingsan. Gak tau itu pingsan beneran apa gimana. Yang jelas berakting kesurupan. sebenernya, puncak acaranya kalo orang dewasa yang nari dan kesurupan. Soalnya mereka bisa sampe makan kaca, buka kelapa pakek gigi doang. Sayangnya awan kelabu mulai menggelayuti siang hari itu. Jadi bubarlah kita sebelum klimaks pertunjukkannya.
Yang gue bikin takjub itu bukan sama pertunjukkannya sih. Tapi karena kemauan anak anak yang seneng bisa liat pertunjukkan tradisional. Gue aja, dinyanyiin lengser wengi antara ngantuk sama takut yang ada. Beda sama mereka yang antusias banget pengen liat pertunjukkannya yang padahal cukup jauh dari rumah.